Kamis, 26 Januari 2012

Peran “Kepanitiaan” (PPK, PPS dan KPPS) dalam Sukses Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah[1]

Drs.H.M. Mufti Syarfie, MM[2]

Pendahuluan

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilihan umum yang diselenggarakan secara langsung oleh rakyat untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bicara tentang Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, kita patut bersyukur karena beberapa daerah di Sumatera Barat telah selesai melaksanakannya dengan lancar. Hingga saat ini telah dilaksanakan Pilkada sebanyak 15 daerah Kabupaten dan Kota serta Provinsi. Dari sisi teknis penyelenggaraan Pilkada apa yang telah dilakukan oleh KPU Provinsi Sumatera Barat bersama-sama dengan KPU Kabupaten dan Kota dapat berjalan baik berkat adanya dukungan dari semua pihak. Dan pada tahun 2008 ini akan dilaksanakan Pemilu Kepala Daerah pada 4 (empat) Kota, yaitu Kota Padang, Kota Padang Pariaman, Kota Padang Panjang, dan Kota Sawahlunto.

Seperti yang telah diprediksi dari awal bahwa pelaksanaan Pilkada akan mengakibatkan suhu politik di daerah akan lebih memanas dibandingkan dengan Pemilihan Umum 2004, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Ini dapat dimaklumi, karena di dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah terlihat adanya ikatan emosional yang kuat antara pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan massa pendukungnya. Hal ini yang akan menjadi perhatian bagi semua pihak baik penyelenggara maupun publik untuk menciptakan suasana yang kondusif selama berlansungnya proses pelaksanaan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Kedudukan Kota Padang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Barat, merupakan barometer bagi daerah-daerah lainnya di Sumatera Barat, dan keberhasilan Padang dalam penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah akan memberikan dampak yang sangat besar pada daerah-daerah lainnya di Sumatera Barat secara umum.

UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum memberikan dampak yang sangat luas terhadap penyelenggara (KPU) karena secara khusus telah diatur tentang Penyelenggara Pemilu. Dengan demikian penyelenggara pemilu memiliki kedudukan yang semakin kuat dalam menyelenggarakan pemilihan umum. Namun demikian juga diimbangi dengan tugas yang semakin berat yang menuntut pemahaman dan pengusaan tugas yang semakin baik. Dalam UU ini diatur secara tegas mengenai tugas, wewenang maupun kewajiban setiap penyelenggara pemilihan umum.

Dengan UU Nomor 22 tahun 2007 ini pula Pilkada menjadi domain pemilihan umum. Sebelumnya (Undang-undang nomor 32 tahun 2004), pemilihan kepala dan wakil kepala daerah (disingkat Pilkada) termasuk rezim pemerintah - karena diatur undang-undang Pemerintahan Daerah- bukan rezim pemilu. Akibatnya, penyelenggaranya disebut KPUD yang tidak sama sekali memiliki hubungan hierarkis dengan KPU di tingkat nasional. Dampak yang dirasakan oleh KPU Provinsi dan Kab/Kota adalah bahwa KPUD harus menyusun sendiri aturan tindak lanjut undang-undang yang ada, sementara KPU tak memiliki kewenangan untuk ikut campur. UU Penyelenggara Pemilu lahir dalam rangka penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggara pemilu untuk lebih meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi.

Dasar Hukum

Lembaga penyelenggara pemilihan, diamanahkan bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan peraturan dan perundang-undangan. Setidaknya 12 aturan yang menjadi dasar dari pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yaitu :

1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

4. Perpu Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

5. PP Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

6. PP Nomor 25 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

7. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

8. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 06 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih Dalam Pemilihan Umum Kepala Daaerah dan Wakil Kepala Daerah.

9. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 07 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

10. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 08 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

11. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 09 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Tempat Pemungutan Suara.

12. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh PPK, KPU Kab/ Kota, dan KPU Provinsi.

Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berkualitas

Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihaan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas dan akuntabilitas yang tinggi. Paling tidak, penyelenggaranya, termasuk PPK dan PPS harus menguasai azas pemilihan itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berkualitas sangat diperlukan, antara lain:

1. Pemahaman dan ketaatan terhadap aturan

Dalam menjalankan setiap proses, baik itu persiapan, teknis penyelenggaraan maupun pelaksanaan tahapan dalam pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah harus sesuai dengan aturan dan koridor hukum yang mengaturnya serta selalu mengikuti setiap perkembangan mutakhir UU politik.

2. Sumber Daya Manusia berkualitas

Hal paling menentukan keberhasilan penyelengaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah di suatu daerah adalah sumber daya manusia selaku penyelenggara Pemilu. Bagi daerah yang lemah SDMnya akan mengalami banyak kesulitan menyelenggarakan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah. Penyelenggara pemilu harus mempunyai pengetahuan yang baik mengenai aturan maupun teknis penyelenggaraannya.

Badan penyelenggara baik yang bersifat kepantiaan (ad hoc) seperti PPK, PPS maupun KPPS, maupun lembaga permanen seperti KPU, KPU Prov dan KPU Kab/Kota, harus memahami tugas, wewenang dan kewajibannya selaku penyelenggara pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Badan penyelenggara secara langsung berperan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan pemilu dalam rangka mengawal terwujudnya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Tugas, wewenang, dan kewajiban Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)

Berdasarkan ketentuan pasal 44 UU nomor 22 Tahun 2007, tugas, wewenang, dan kewajiban Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yaitu meliputi :

a. Membantu KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kab/Kota dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, dan daftar pemilih tetap;

b. Membantu KPU Kab/Kota dalam menyelenggarakan pemilu;

c. Melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat kecamatan yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kab/Kota;

d. Menerima dan menyampaikan daftar pemilih kepada KPU Kab/Kota;

e. Mengumpulkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya;

f. Melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada huruf e dalam rapat yang harus dihadiri oleh saksi peserta pemilu;

g. Mengumumkan hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada huruf f;

h. Menyerahkan hasil rekapitulasi suara sebagaimana dimaksud pada huruf f kepada seluruh peserta Pemilu;

i. Membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib menyerahkan kepada saksi peserta Pemilu, Panwaslu Kecamatan, dan KPU Kab/Kota;

j. Menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Panwaslu Kecamatan;

k. Melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kerjanya masing-masing;

l. Melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang PPK kepada masyarakat;

m. Melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; antara lain bentuknya, bisa berupa tugas melakukan verifikasi faktual dukungan masyarakat terhadap pasangan calon perseorangan

n. Melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh Undang-undang.

Tugas, wewenang, dan kewajiban PPS

Tugas, wewenang, dan kewajiban PPS sesuai dengan ketentua Pasal 47 UU Nomor 22 Tahun 2007, yaitu :

  1. Membantu KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kab/Kota dan PPK dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan dan daftar pemilih tetap;
  2. Membentuk KPPS;
  3. Mengnakat petugas pemutakhiran data pemilih;
  4. Mengumumkan daftar pemilih;
  5. Menerima masukan dari masyarakat tentang daftar pemilih sementara;
  6. Melakukan perbaikan dan mengumumkan hasil perbaikan daftar pemilih sementara;
  7. Menetapkan hasil perbaikan daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada huruf f untuk menjadi daftar pemilih tetap;
  8. Mengumumkan daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada huruf g dan melaporkan kepada KPU Kab/Kota melalui PPK;
  9. Menyampaikan daftar pemilih kepada PPK;
  10. Melaksanakan semua tahapan penyelenggaraanPemilu di tingkat desa/ kelurahan yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota, dan PPK;
  11. Mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya;
  12. Menjaga dan mengamankan keutuhan kotak suara setelah penghitungan suara dan setelah kotak suara disegel;
  13. Meneruskan kotak suara dari setiap TPS kepada PPK pada hari yang sama setelah terkumpulnya kotak suara dari setiap TPS dan tidak memiliki kewenangan membuka kotak suara yang sudah disegel oleh KPPS;
  14. Menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu diwilayah kerjanya;
  15. Melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kerjanya masing-masing;
  16. Melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang PPS kepada masyarakat;
  17. Membantu PPK dalam menyelenggarakan Pemilu, kecuali dalam hal penghitungan suara;
  18. Melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota dan PPK sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
  19. Melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh Undang-undang.

Perbedaan yang mendasar mengenai tugas PPK dan PPS pasca keluarnya UU Nomor 22 Tahun 2007, adalah :

- PPK dan PPS mempunyai tugas melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan pemilihan umum.

- PPS mempunyai kewenangan mengangkat petugas pemutakhiran Pemilih.( Pasal 47 huruf ( c )

- PPS tidak lagi melakukan rekapitulasi penghitungan suara, hanya bertugas mengumumkan hasil penghitungan suara KPPS dan meneruskan pengiriman kotak suara dalam keadaan terkunci ke PPK di hari yang sama ketika menerima dari KPPS ( Pasal 47 huruf ( k), (l), (m)

Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, badan penyelenggara harus dibekali dengan berbagai pengetahuan mengenai teknis pemilu, strategi sosialisasi yang tepat serta tugas, wewenang dan kewajibannya selaku penyelenggara sehingga timbul pemahaman dan rasa tanggungjawab yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Pembekalan dapat berupa bimbingan teknis dan pelatihan-pelatihan bagi petugas penyelenggara.

3. Sosialisasi yang tepat sasaran

Sukses pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga tidak terlepas dari sejauhmana masyarakat mengetahui dan menyerap informasi Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah itu sendiri, baik yang bersifat normatif ( aturan hukum ) maupan teknis dan tata cara pelaksanaannya serta calon Kepala Daerah yang akan dipilih.

Adapun tujuan dilaksanakannya sosialisasi agar masyarakat mengetahui dan memahami berbagai hal yang menyangkut pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan diharapkan meningkatnya pemahaman tentang tata cara teknis penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kondisi suatu daerah berbeda-beda dengan daerah lainnya baik masyarakat, alam dan kultural maka perlu dirancang suatu strategi sosialisasi yang tepat dan mudah diserap oleh publik (masyarakat setempat). Hal ini sangat dibutuhkan kemampuan dalam pendekatan dan penjelasan akan pentingnya partisipasi publik dalam pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam menapaki masa depan bangsa dan negara secara umum, dan daerah pada khususnya.

4. Hubungan antar lembaga ( koordinasi )

Sifat independensi KPU Kota dalam pelaksanaan pemilu tidak berarti KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota harus mengisolasi diri dalam bekerja. Sikap independensi dimaksudkan bahwa penyelenggara pemilu dalam bekerja tidak dapat diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik yang justru menjadikan KPUD itu tidak independen.

Koordinasi dengan stake holders tetap perlu lebih ditingkatkan agar terciptanya hubungan yang harmonis dan kondusif, serta masing-masing pihak merasa bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah di daerahnya masing-masing.

KPUD dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah perlu dukungan dari semua pihak. Yang perlu dipahami, dalam mewujudkan suatu Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tertib dan aman serta berjalan dengan baik, bukan hanya menjadi tanggung-jawab KPUD sebagai penyelegara pemilu, tetapi banyak pihak yang memainkan peran dalam sukses tidaknya suatu pemilihan umum yaitu antara lain pemerintah daerah, DPRD, Panwaslih, partai politik maupun publik.

Perkembangan terakhir sehubungan dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, yaitu, antara lain dibukanya “kran”:

1. Calon Perseorangan.

Mengenai calon perseorangan telah diakomodir oleh Mahkamah Konstitusi, artinya kemungkinan akan ada calon yang diusulkan dari non partai, persoalannya sampai sekarang KPUD masih menunggu Peraturan atau petunjuk teknis calon independen, berdasarkan pengesahan revisi terbatas terhadap Undang-undang 32 tahun 2004. Menjadi Undang-undang No. 12 tahun 2008.Dan sudah ditandangani Presiden tanggal 28 April lalu dan KPU sesegeranya menerbitkan peraturan tentang tata cara pencalonan pasangan perseorangan ini

2. Incumbent (Petahana)

Adanya tuntutan agar kepala daerah yang ingin mencalonkan diri dalam pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (calon incumbent) agar mengundurkan diri[3]. Dan itu pun masih menunggu petunjuk teknis lebih lanjut.

Demikianlah sekilas gambaran dan informasi mengenai Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah, semoga dalam diskusi nantinya didapat berbagai rekomendasi untuk penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lebih baik di masa datang.

Wabillahitaufik walhidayah

Wassalamualaikum WW.



[1] Disampaikan pada Pembekalan PPK dan PPS se Kota Padang, jelang Pemilu Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Sabtu, 26 April 2008 di Padang

[2] Ketua KPU Provinsi Sumatera Barat

[3] Masih menunggu keputusan lebih lanjut,MK sedang menguji undang undang pemerintah daerah

Peranan Lembaga Penyelenggara Pemilu dalam Mendorong Terpenuhinya Semangat Keterwakilan Perempuan di Parlemen[1]

Oleh M. Mufti Syarfie[2]

Pendahuluan

Perjuangan kesetaraan gender dalam kehidupan politik semakin keras sejak era reformasi bergulir. Sebetulnya tak perlu ada dekade yang memutus perjuangan perempuan, terutama di Ranah Minang, yang sejak doeloenya terkenal sebagai ranah Bundo Kanduang. Dalam era perjuangan kemerdekaan, perempuan di Sumbar juga sudah menonjol, sebut Rohana Kuddus, pahlawan nasional yang gigih berjuang dengan penanya melalui media yang diasuhnya “Soenting Melayu”, Walau pun berstatus reporter kawakan, Rohana dalam menjalankan profesi jurnalisnya, tetap mempertahankan status sebagai isteri, bertahan dengan pakaian khas koto gadang, memegang teguh adat salingka nagarinya. Rohana tidak hanya menonjol dalam dunia jurnalistik, tapi juga dalam kiprah pendidikan. Ia juga memperkenalkan sistem pendidikan klasikal di kampung halamanya, yaitu sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS).

Tak hanya Rohana yang berkiprah besar ketika itu. Ada juga Ratna Juwita dan Zubaidah; kedua perempuan ini sudah malang melintang sebagai penulis di koran Oetoesan Melayu pada tahun 1912. Ratna Juwita putri Soetan Maharaja,-wartawan dan pemilik- Oetoesan Melayu- mencuat namanya ketika dipercaya sebagai redaktur pelaksana Soenting Melayu di bawah pimpinan redaksi, Rohana Kuddus. Artinya berbahagialah perempuan Sumatera Barat, perjuangan kesetaraan gender di daerah ini sudah berangkat dari tikaman sejarah, bahkan harus bangga dibanding apa yang dialami perempuan di bagian pelosok Nunsantara ini. Kalau mau jujur, perempuan di Sumbar tak perlu merasa miris, jika melihat apa yang baru diperjuangkan perempuan daerah lainnya. Yang terpenting itu, bagaimana melakukan revitalisasi peran perempuan di daerah ini, dengan memanfaatkan secara cerdas dan maksimal peluang yang ada, tak terkecuali dalam bidang politik praktis.

Bagaimana peluang perempuan dalam undang-undang politik

Penyempurnaan undang-undang politik pun dilakukan, sejalan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat. Penyempurnaan itu dimaksudkan mewujudkan sistem multipartai yang sederhana dalam rangka memperkuat efektivitas pemerintahan presidensial, disusul peningkatan efektivitas lembaga-lembaga perwakilan rakyat; MPR, DPR dan DPD sesuai fungsinya yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945. Perbaikan undang-undang ini juga diharapkan akan berimbas pada upaya peningkatan efektivitas parpol sebagai instrumen demokrasi di tanah air. Bagi KPU jelas akan membawa dampak peningkatan efektivitas penyelenggara Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Secara umum, prinsip penyempurnaan undang-undang politik; undang-undang penyelenggara pemilu dan undang-undang penyelenggaraan termasuk undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang parpol, antara lain buah dari penyerapan aspirasi masyarakat dan realitas kondisi politik yang dihadapi pasca pemilu 2004 lalu. Antara lain tuntutan peran lebih besar dari perempuan Indonesia. KPU pun melakukan evaluasi undang-undang politik dengan berbagai kalangan. Undang-undang politik sebelumnya diakui mengandung banyak kelemahan. Paling tidak rekomendasi hasil evaluasi tersebut menyatakan perlunya singkronisasi antar pasal-pasal terkait antar undang-undang partai politik, pemilu, pilpres dan wapres, undang-undang penyelenggara pemilu dengan undang-undang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPD, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Sejalan dengan penyempurnaan undang-undang politik tersebut, perjuangan perempuan untuk mendapatkan tempat di parlemen, secara konstitusional dapat dikatakan berhasil, menyusul ditetapkannya Undang-undang Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2008 yang telah mengakomodasi keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % untuk duduk sebagai anggota legislatif pada semua tingkatan ( DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ), sungguh merupakan keberhasilan yang luar biasa.

Dominasi peran laki-laki di lembaga legislatif akan semakin diimbangi oleh peran perempuan dengan semakin banyaknya perempuan yang menduduki kursi di lembaga ini. Peran ini diharapkan akan semakin meningkat seiring dengan terbukanya belenggu-belenggu yang selama ini membatasi ruang gerak perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara ini. Tidak dapat dipungkiri, bahwa di masa lalu pada daerah-daerah tertentu (budaya tertentu) memberikan kesempatan yang sangat terbatas kepada kaum perempuan untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan. (bukan di Ranah Minang-pen)

Peran ini secara tradisional lebih didominasi oleh kaum laki-laki. Namun dengan perjuangan yang terus menerus dan tidak kenal lelah, kaum perempuan telah mendapat “sebagian” dari apa yang selama ini diperjuangkannya.

Keberhasilan perjuangan kaum perempuan itu dapat kita lihat dengan disahkannya berbagai undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan. Antara lain dapat disebutkan, UU tentang Pencegahan dan perlindungan terhadap perdagangan anak dan perempuan, UU tenaga kerja yang memberikan perlindungan terhadap buruh perempuan, UU perlindungan terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dsb.

Dalam perkembangan undang-undang politik, setidaknya ada sepuluh perubahan penting yang ditemukan dalam undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu , dibanding undang-undang No. 12 tahun 2003. Satu di antara perubahan penting tersebut adalah diakomodirnya secara tegas keterwakilan perempuan. Persisnya, 30% keterwakilan perempuan dalam daftar caleg, atau satu orang setiap tiga calon, namun peluang ini sedikit terganggu, karena dalam penentuan perolehan kursi juga diterapkan “semi suara terbanyak”, yaitu seorang caleg yang dinominasikan terpilih adalah minimal meraih 30% bilangan pembagi pemilihan (BPP). Jika peraih lebih 30% BPP lebih banyak dibanding jumlah kursi di suatu Dapil, maka penentuannya melalui nomor urut dalam daftar calon. (Pasal 214)

Lebih parahnya, kini muncul upaya “menggasak” pasal 214 tersebut dan menggantinya dengan suara terbanyak. Jika ini berhasil, korban pertama adalah para caleg yang tidak mengakar, tak terkecuali caleg perempuan. Kecenderungan itu semakin deras, ketika kita kaitkan dengan prilaku para balon anggota dewan saat mengisi formulir BB (salah satu berkas pencalonan). Hasil survey dangkal KPU Sumbar, sebagian besar calon tidak mengetahui persis di daerah pemilihan mana dan nomor urut berapa mereka di tempatkan, pada hal dalam formulir BB tersebut, semestinya setiap calon tahu persis dapil dan nomor urut yang ditempati, karena memang harus dibubuhi tanda tangan sendiri dan kemudian dilengkapi tanda tangan pengurus parpol. Kondisi ini paling tidak mencerminkan bahwa semangat pasal 51 ayat (1) dan (2) belum terpenuhi, yaitu parpol dalam melakukan seleksi balon anggota dewannya, harus secara demokratris dan terbuka sesuai dengan internal parpol yang bersangkutan., Pertanyaannya, apakah kaum perempuan kuat bersaing seperti itu?

Peranan Perempuan dalam Setiap Tahapan Pemilu 2009

No

Tahapan Pemilu 2009

Peranan yang bisa dimainkan

Ket

01

Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan Daftar Pemilih;

Aktif mendorong pemilih perempuan dan simpatisa perempuan agar terdaftar sebagai pemilih

02

Pendaftaran peserta Pemilu

Aktif memantau apakah parpol yang mendaftar ke KPU betul-betul memiliki keberpihakan kepada perempuan dan mengapresiasi misi dan program parpol ybs tentang keperempuanan

03

Penetapan peserta Pemilu;

Mendorong aktivis perempuan masuk ke struktur parpol di daerah

Jadi pengurus

04

Penetapan jumlah kursi dan DAPIL

Memetakan daerah pemilihan mana saja yang dominan pemilih perempuan, terutama pemilih yang mendukung keterwakilan perempuan

05

Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Prov, DPRD Kab/Kota

1. Mengawal proses pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD Prov dan DPRD Kab/Kota

2. Mendorong prempuan potensial untuk menjadi bagian yang dicalonkan sesuai ketentuan undnag-undang

06

Masa kampanye (21 hari) jelang masa tenang

Aktif dan ambil bagian secara simultan dengan partai pengusung mengkampanyekan caleg perempuan

07

Masa tenang (tiga hari jelang hari “H”)

Diam dan senyap

08

Pemungutan dan penghitungan suara;

Mendorong seluruh perempuan ke TPS untuk memberikan suara

09

Penetapan hasil Pemilu;

Memantau proses penetapan, terutama dalam proses yang dilakukan parpol ybs.

10

Pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota

Jadilah bacaleg perempuan jadi anggota dewan. Tapi ia tidak hanya memperjuangkan hak perempuan, tapi juga hak seluruh konstituennya.

Harus terus berjuang untuk perempuan

Seperti yang diungkapkan pada bagian sebelumnya, perempuan betul-betul sudah diakomodir dalam serangkaian undang undang politik, seperti yang dituangkan dalam persyaratan pendirian parpol yang mengharuskan menyertakan sekurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat, selain keharusan memiliki anggota minimal 1000 orang atau 1/1000 penduduk di setiap tingkatan pengurus. Dibuktikan dengan KTA (Pasal 8 UU No. 2 tahun 2007), dan keharusan memperhatikan 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan di daerah dan mewajibkan setiap parpol peserta mengakomodir 30% keterwakilan perempuan dalam proses pencalonan anggota dewan secara berjenjang dengan sistem “zipper” (zig zag) dalam pemberian nomor urut. (Pasal 53 dan 55).

Hal itu sangat wajar. Data pemilu tahun 2004 menunjukkan jumlah pemilih perempuan mencapai 51 %. Sedang data Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk perempuan sebanyak 101.625.819 jiwa. Nah, kalau melihat perimbangan ini seharusnya perempuan mengambil porsi yang lebih banyak dari kaum laki-laki. Tapi, memang inilah persoalan. Sebagai contoh, hasil Pemilu tahun 2004 jumlah perempuan yang menduduki kursi di DPRD Sumatera Barat hanya sebanyak 9,09% ( 5 kursi ) dari jumlah anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat sebanyak 55 kursi.

Tabel

JUMLAH DAN PERSENTASE PEREMPUAN TERPILIH

DPRD SUMATERA BARAT HASIL PEMILU 2004

No.

Daerah

Pemilihan

Jumlah Kursi

Laki-laki

Perempuan

Persentase

Perempuan (% )

1.

Sumbar I

10

10

0

0,00

2.

Sumbar II

11

10

1

0,09

3.

Sumbar III

10

8

2

20,00

4.

Sumbar IV

12

10

2

16,67

5.

Sumbar V

12

12

0

0,00

Jumlah

55

50

5

9,09

Dari data di atas tentu saja keterwakilan 30 % ( tiga puluh per seratus ) perempuan di Parlemen hasil pemilu tahun 2004 tidak terpenuhi. Bagaimana dengan capaian Pemilu tahun 2009 ?. Rasanya sulit, karena untuk memenuhi kuota minimal 30 % keterwakilan perempuan bakal calon saja, masih sulit.

Proses pencalonan dalam pemilu tahun 2004 yang mengharuskan keterwakilan perempuan sebanyak 30 % tapi tidak dilengkapi dengan petunjuk teknis yang jelas. Pengajuan bakal calon perempuan pada kebanyakan partai diletakkan pada nomor urut besar. Hanya sedikit partai politik yang berani meletak perempuan pada nomor urut 1 (satu). Ini membuktikan kepada publik memang ada sinyalemen bahwa perempuan, hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari dukungan atau “vote getter” bukan untuk dijadikan sebagai calon anggota legislatif dalam arti yang sesungguhnya.

Memang, dengan sistem proposional terbuka yang diterapkan, memberikan peluang yang sama pada semua calon legislatif untuk meraih kursi di lembaga legislatif. Logikanya, nomor urut tidak memberikan pengaruh dalam penentuan untuk menjadi anggota legislatif. Namun, disisi lain pemberlakuan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) menghalangi sistem proposional terbuka tersebut. Dari data pemilu tahunh 2004 di Provinsi Sumatera Barat calon yang mencapai BPP dapat dihitung dengan jari. Ini artinya, bahwa perolehan suara yang tidak mencapai BPP tersebut akan menjadi milik caleg urut teratas. Begitulah selanjutnya.

Menghadapi Pemilu 2009, selain dilandasi Undang-undang No. 10 tahun 2008, KPU juga menerbitkan petunjuk teknis yaitu Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Umum Tahun 2009.

Dalam pasal 10 Peraturan KPU 18 tahun 2008 yang mengharuskan memuat paling sedikit 30 % (tiga puluh per seratus) kerterwakilan perempuan, dengan ketentuan apabila hasil perhitungan terdapat bilangan pecahan ½ (setengah) atau lebih dibulatkan ke atas dan apabila kurang dari ½ (setengah) dihapus.

Selanjutnya dalam pasal 12 ayat (2) disebutkan bahwa di dalam daftar bakal calon yang diajukan dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang bakal calon perempuan.

Dalam prakteknya, partai-partai yang tidak mencalonkan perempuan 30 % sebagaimana diatur oleh pasal 12 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 18 tahun 2008 berkasnya akan dikembalikan untuk diperbaiki atau membuat pernyataan dengan disertai alasan kenapa tidak mencalonkan caleg perempuan sebagaimana diatur pasal 12 ayat (2) tersebut di atas. Ini artinya partai politik masih mempunyai peluang untuk mengabaikan ketentuan pemenuhan pengajuan caleg perempuan. Kenyataan lain adalah belun ditemukan pwerempuan yang diajukan di nomor urut satu, sebagian besar ditempatkan pada nomor urut 3. Hitung sendiri peluang yang bakal diraih caleg perempuan.

Untuk itu perlu upaya perbaikan ke depan, baik dari sisi peraturan perundang-undangan maupun dari kualitas Sumber Daya Manusia calon perempuan itu sendiri. Perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa kemajuan yang hakiki diraih melalui upaya yang sungguh-sungguh, bukan melalui pemberian seperti “kuota”. Upaya yang sungguh-sungguh kaum perempuan akan bisa memajukan dirinya sehingga mampu bersaing dan memperoleh pengakuan yang sesungguhnya.

Pemberian ruang peran perempuan dalam bidang politik sudah dimulai dari hulu; mulai dari dari undang-undang pembentukan partai politik. Dalam tujuan pendirian parpol ditegaskan agar mempertimbangkan keterwakilan perempuan terutana rekruitmen politik dalam proses pengisi jabatan politik, melalui mekanisme demokrasi degan memperhatikan kesetaraan dan gender (Pasal 11 UU Parpol)

Dalam undang-undang penyelenggara pun juga ditetapkan keharusan mengakomodir keterwakilan perempuan ini, seperti yang dituangkan dalam Undang-undang No. 22 tahun 2007, tetantg rekruitmen anggota penyelenggara, antara lain, pengisian anggota KPU yang berjumlah 7 orang di KPU, masing-masing lima orang di KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota, sampai dalam pengisian personalia PPK dan PPS yang juga dipesani agar ada unsur perempuan, sekurangnya 30%. (Pasal 22 UU No. 22 thn 2007).

Bakal Calon Anggota DPRD Provinsi

Politisi perempuan yang dicalonkan menjadi anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat untuk pemilihan umum tahun 2009 sangat bervariasi jumlahnya, namun tidak seluruh parpol yang ambil bagian dalam pemilihan di Sumatera Barat, maksimal mengajukan caleg perempuan. Kendati pun masih perlu didalami, secara agregat, jumlah caleg perempuan yang diajukan 37 partai politik peserta Pemilu di Sumatera Barat, sudah memenuhi keterwakilan yang diharuskan.

Dari 875 bakal calon[3] yang diajukan 876 orang, tercatat 298 orang di antaranya perempuan (34,06 %) atau 4,06% lebih tinggi dari kewajiban yang diharuskan undang-undang Pemilu itu sendiri. Namun demikian angka itu secara substansial belum menggembirakan, karena masih ada parpol yang tidak sama sekali mengajukan caleg perempuan, seperti Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), partai Pelopor, Partai Banteng Nasional Kerakyatan Indonesia (PNBKI) dan Partai Merdeka.

Jangankan mengajukan caleg peremuan, untuk memenuhi dan mengisi lima daerah pemilihan saja kelihatannya sudah sulit, apalagi mencari caleg perempuan. Ini disebabkan, amanah undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Parpol, hanya memesankan “memperhatikan” terhadap keterwakilan perempuan dalam komposisi kepengurusan parpol di daerah. Beda dengan kepengurusan parpol di tingkat pusat yang mewajibkan 30% keterwakilan perempuan.

Peranan Lembaga Penyelenggara:

Yang pasti, tidak ada peranan istimewa dari lembaga penyelenggara untuk terpenuhinya keterwakilan perempuan itu sendiri, kecuali melakukan apa yang diamanahkan undang-undang. Kalau pun bisa disebut sebagai peran, bentuk dorongan itu adalah memberikan sosialisasi kepada pengurus parpol agar apa yang diamanahkan undang-undang politik tersebut terpenuhi tanpa harus mengorbankan politikus lelaki.

Cara advokasi KPU yang dilakukan secara berjenjang adalah, memberikan pemahaman mendalam kepada pengurus parpol, bahwa nuansa keikutsertaan perempuan dalam wadah organisasi apa pun, akan membawa pencerahan pemikiran. Paling tidak dalam posisi memenuhi tuntutan kebutuhan konstituen perempuan. Terhadap parpol yang tak memenuhi 30% keterwakilan perempuan dalam proses pengajuan calon anggota dewan tersebut, akan dihadapkan pada kondisi atau proses memberikan rasa malu dan bisa-bisa mempengaruhi peraihan suara, dengan cara mengumumkan bahwa parpol ybs telah melanggar Pasal 57 Undang-undang No. 10 tahun 2008.

KPU secara berjenjang akan mengumumkan parpol yang tak memenuhi standar undang-undang melalui media massa dan televisi selama 5 hari setelah penetapan Daftar Calon Sementara.

Hanya itu yang bisa dilakukan. Kritik kita terhadap semangat undang-undang ini adalah, belum tegasnya sanksi yang diberikan oleh undang-undang ini. Tak ada sanksi yang memiliki aspek dorong agar pemenuhan minimal 30% keterwakilan perempuan bisa dicapai. Diperkirakan latar belakangnya adalah, belum maksimalnya ketersediaan aktivis perempuan di berbagai jenjang kepengurusan parpol, sehingga sulit menemukan perempuan yang betul-betul memiliki kapasitas yang setara dengan politikus lelaki.

Persoalannya bukan tidak tersedianya aktivis perempuan dalam dunia politik ini, tapi belum terlewatinya proses dan tahapan rekrutmen kader politik bagi perempuan. Kenyataannya, belum banyak keterlibatan perempuan dalam setiap kepengurusan dan kaderisasi parpol. Ke depan, perempuan tak punya pilihan lain, kecuali harus mau dan mampu bersaing dalam proses kaderisasi parpol.

Daftar Sumber;

1. Undang-undang No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

2. Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik

3. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota

4. Peraturan KPU No. 12 tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Penelitian, Verifikasi dan Penetapan Parpol Menjadi Peserta Pemilu 2009

5. Peraturan KPU No. 13 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Penelitian, Verifikasi Penetapan dan Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota.

6. Fitiyanti, 2005, Wartawan Perempuan Pertama Indonesia; Rohana Kuddus, Jakarta; d’NANTI,



[1] Disampaikan pada seminar sehari Koalisi Perempuan pada tanggal 17 September 2009 di Pengeran’s Beach Hotel Padang

[2] Kordinator Divtek KPU Sumbar 2008-2013 dan Ketua KPU Sumbar 2003-2008

[3] Yang diajukan masa verifikasi tahap II sebelum ditetapkan daftar calon sementara (DCS)