Oleh M. Mufti Syarfie[2]
Pendahuluan
Perjuangan kesetaraan gender dalam kehidupan politik semakin keras sejak era reformasi bergulir. Sebetulnya tak perlu ada dekade yang memutus perjuangan perempuan, terutama di Ranah Minang, yang sejak doeloenya terkenal sebagai ranah Bundo Kanduang. Dalam era perjuangan kemerdekaan, perempuan di Sumbar juga sudah menonjol, sebut Rohana Kuddus, pahlawan nasional yang gigih berjuang dengan penanya melalui media yang diasuhnya “Soenting Melayu”, Walau pun berstatus reporter kawakan, Rohana dalam menjalankan profesi jurnalisnya, tetap mempertahankan status sebagai isteri, bertahan dengan pakaian khas koto gadang, memegang teguh adat salingka nagarinya. Rohana tidak hanya menonjol dalam dunia jurnalistik, tapi juga dalam kiprah pendidikan. Ia juga memperkenalkan sistem pendidikan klasikal di kampung halamanya, yaitu sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS).
Tak hanya Rohana yang berkiprah besar ketika itu. Ada juga Ratna Juwita dan Zubaidah; kedua perempuan ini sudah malang melintang sebagai penulis di koran Oetoesan Melayu pada tahun 1912. Ratna Juwita putri Soetan Maharaja,-wartawan dan pemilik- Oetoesan Melayu- mencuat namanya ketika dipercaya sebagai redaktur pelaksana Soenting Melayu di bawah pimpinan redaksi, Rohana Kuddus. Artinya berbahagialah perempuan Sumatera Barat, perjuangan kesetaraan gender di daerah ini sudah berangkat dari tikaman sejarah, bahkan harus bangga dibanding apa yang dialami perempuan di bagian pelosok Nunsantara ini. Kalau mau jujur, perempuan di Sumbar tak perlu merasa miris, jika melihat apa yang baru diperjuangkan perempuan daerah lainnya. Yang terpenting itu, bagaimana melakukan revitalisasi peran perempuan di daerah ini, dengan memanfaatkan secara cerdas dan maksimal peluang yang ada, tak terkecuali dalam bidang politik praktis.
Bagaimana peluang perempuan dalam undang-undang politik
Penyempurnaan undang-undang politik pun dilakukan, sejalan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat. Penyempurnaan itu dimaksudkan mewujudkan sistem multipartai yang sederhana dalam rangka memperkuat efektivitas pemerintahan presidensial, disusul peningkatan efektivitas lembaga-lembaga perwakilan rakyat; MPR, DPR dan DPD sesuai fungsinya yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945. Perbaikan undang-undang ini juga diharapkan akan berimbas pada upaya peningkatan efektivitas parpol sebagai instrumen demokrasi di tanah air. Bagi KPU jelas akan membawa dampak peningkatan efektivitas penyelenggara Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Secara umum, prinsip penyempurnaan undang-undang politik; undang-undang penyelenggara pemilu dan undang-undang penyelenggaraan termasuk undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang parpol, antara lain buah dari penyerapan aspirasi masyarakat dan realitas kondisi politik yang dihadapi pasca pemilu 2004 lalu. Antara lain tuntutan peran lebih besar dari perempuan Indonesia. KPU pun melakukan evaluasi undang-undang politik dengan berbagai kalangan. Undang-undang politik sebelumnya diakui mengandung banyak kelemahan. Paling tidak rekomendasi hasil evaluasi tersebut menyatakan perlunya singkronisasi antar pasal-pasal terkait antar undang-undang partai politik, pemilu, pilpres dan wapres, undang-undang penyelenggara pemilu dengan undang-undang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPD, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Sejalan dengan penyempurnaan undang-undang politik tersebut, perjuangan perempuan untuk mendapatkan tempat di parlemen, secara konstitusional dapat dikatakan berhasil, menyusul ditetapkannya Undang-undang Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2008 yang telah mengakomodasi keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % untuk duduk sebagai anggota legislatif pada semua tingkatan ( DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ), sungguh merupakan keberhasilan yang luar biasa.
Dominasi peran laki-laki di lembaga legislatif akan semakin diimbangi oleh peran perempuan dengan semakin banyaknya perempuan yang menduduki kursi di lembaga ini. Peran ini diharapkan akan semakin meningkat seiring dengan terbukanya belenggu-belenggu yang selama ini membatasi ruang gerak perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara ini. Tidak dapat dipungkiri, bahwa di masa lalu pada daerah-daerah tertentu (budaya tertentu) memberikan kesempatan yang sangat terbatas kepada kaum perempuan untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan. (bukan di Ranah Minang-pen)
Peran ini secara tradisional lebih didominasi oleh kaum laki-laki. Namun dengan perjuangan yang terus menerus dan tidak kenal lelah, kaum perempuan telah mendapat “sebagian” dari apa yang selama ini diperjuangkannya.
Keberhasilan perjuangan kaum perempuan itu dapat kita lihat dengan disahkannya berbagai undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan. Antara lain dapat disebutkan, UU tentang Pencegahan dan perlindungan terhadap perdagangan anak dan perempuan, UU tenaga kerja yang memberikan perlindungan terhadap buruh perempuan, UU perlindungan terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dsb.
Dalam perkembangan undang-undang politik, setidaknya ada sepuluh perubahan penting yang ditemukan dalam undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu , dibanding undang-undang No. 12 tahun 2003. Satu di antara perubahan penting tersebut adalah diakomodirnya secara tegas keterwakilan perempuan. Persisnya, 30% keterwakilan perempuan dalam daftar caleg, atau satu orang setiap tiga calon, namun peluang ini sedikit terganggu, karena dalam penentuan perolehan kursi juga diterapkan “semi suara terbanyak”, yaitu seorang caleg yang dinominasikan terpilih adalah minimal meraih 30% bilangan pembagi pemilihan (BPP). Jika peraih lebih 30% BPP lebih banyak dibanding jumlah kursi di suatu Dapil, maka penentuannya melalui nomor urut dalam daftar calon. (Pasal 214)
Lebih parahnya, kini muncul upaya “menggasak” pasal 214 tersebut dan menggantinya dengan suara terbanyak. Jika ini berhasil, korban pertama adalah para caleg yang tidak mengakar, tak terkecuali caleg perempuan. Kecenderungan itu semakin deras, ketika kita kaitkan dengan prilaku para balon anggota dewan saat mengisi formulir BB (salah satu berkas pencalonan). Hasil survey dangkal KPU Sumbar, sebagian besar calon tidak mengetahui persis di daerah pemilihan mana dan nomor urut berapa mereka di tempatkan, pada hal dalam formulir BB tersebut, semestinya setiap calon tahu persis dapil dan nomor urut yang ditempati, karena memang harus dibubuhi tanda tangan sendiri dan kemudian dilengkapi tanda tangan pengurus parpol. Kondisi ini paling tidak mencerminkan bahwa semangat pasal 51 ayat (1) dan (2) belum terpenuhi, yaitu parpol dalam melakukan seleksi balon anggota dewannya, harus secara demokratris dan terbuka sesuai dengan internal parpol yang bersangkutan., Pertanyaannya, apakah kaum perempuan kuat bersaing seperti itu?
Peranan Perempuan dalam Setiap Tahapan Pemilu 2009
No | Tahapan Pemilu 2009 | Peranan yang bisa dimainkan | Ket |
01 | Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan Daftar Pemilih;
| Aktif mendorong pemilih perempuan dan simpatisa perempuan agar terdaftar sebagai pemilih |
|
02 | Pendaftaran peserta Pemilu | Aktif memantau apakah parpol yang mendaftar ke KPU betul-betul memiliki keberpihakan kepada perempuan dan mengapresiasi misi dan program parpol ybs tentang keperempuanan |
|
03 | Penetapan peserta Pemilu;
| Mendorong aktivis perempuan masuk ke struktur parpol di daerah | Jadi pengurus |
04 | Penetapan jumlah kursi dan DAPIL
| Memetakan daerah pemilihan mana saja yang dominan pemilih perempuan, terutama pemilih yang mendukung keterwakilan perempuan |
|
05 | Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Prov, DPRD Kab/Kota
| 1. Mengawal proses pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD Prov dan DPRD Kab/Kota 2. Mendorong prempuan potensial untuk menjadi bagian yang dicalonkan sesuai ketentuan undnag-undang |
|
06 | Masa kampanye (21 hari) jelang masa tenang
| Aktif dan ambil bagian secara simultan dengan partai pengusung mengkampanyekan caleg perempuan |
|
07 | Masa tenang (tiga hari jelang hari “H”) | Diam dan senyap |
|
08 | Pemungutan dan penghitungan suara; | Mendorong seluruh perempuan ke TPS untuk memberikan suara |
|
09 | Penetapan hasil Pemilu;
| Memantau proses penetapan, terutama dalam proses yang dilakukan parpol ybs. |
|
10 | Pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
| Jadilah bacaleg perempuan jadi anggota dewan. Tapi ia tidak hanya memperjuangkan hak perempuan, tapi juga hak seluruh konstituennya. | Harus terus berjuang untuk perempuan |
Seperti yang diungkapkan pada bagian sebelumnya, perempuan betul-betul sudah diakomodir dalam serangkaian undang undang politik, seperti yang dituangkan dalam persyaratan pendirian parpol yang mengharuskan menyertakan sekurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat, selain keharusan memiliki anggota minimal 1000 orang atau 1/1000 penduduk di setiap tingkatan pengurus. Dibuktikan dengan KTA (Pasal 8 UU No. 2 tahun 2007), dan keharusan memperhatikan 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan di daerah dan mewajibkan setiap parpol peserta mengakomodir 30% keterwakilan perempuan dalam proses pencalonan anggota dewan secara berjenjang dengan sistem “zipper” (zig zag) dalam pemberian nomor urut. (Pasal 53 dan 55).
Hal itu sangat wajar. Data pemilu tahun 2004 menunjukkan jumlah pemilih perempuan mencapai 51 %. Sedang data Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk perempuan sebanyak 101.625.819 jiwa. Nah, kalau melihat perimbangan ini seharusnya perempuan mengambil porsi yang lebih banyak dari kaum laki-laki. Tapi, memang inilah persoalan. Sebagai contoh, hasil Pemilu tahun 2004 jumlah perempuan yang menduduki kursi di DPRD Sumatera Barat hanya sebanyak 9,09% ( 5 kursi ) dari jumlah anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat sebanyak 55 kursi.
Tabel
JUMLAH DAN PERSENTASE PEREMPUAN TERPILIH
DPRD SUMATERA BARAT HASIL PEMILU 2004
No. | Daerah Pemilihan | Jumlah Kursi | Laki-laki | Perempuan | Persentase Perempuan (% ) |
1. | Sumbar I | 10 | 10 | 0 | 0,00 |
2. | Sumbar II | 11 | 10 | 1 | 0,09 |
3. | Sumbar III | 10 | 8 | 2 | 20,00 |
4. | Sumbar IV | 12 | 10 | 2 | 16,67 |
5. | Sumbar V | 12 | 12 | 0 | 0,00 |
| Jumlah | 55 | 50 | 5 | 9,09 |
Dari data di atas tentu saja keterwakilan 30 % ( tiga puluh per seratus ) perempuan di Parlemen hasil pemilu tahun 2004 tidak terpenuhi. Bagaimana dengan capaian Pemilu tahun 2009 ?. Rasanya sulit, karena untuk memenuhi kuota minimal 30 % keterwakilan perempuan bakal calon saja, masih sulit.
Proses pencalonan dalam pemilu tahun 2004 yang mengharuskan keterwakilan perempuan sebanyak 30 % tapi tidak dilengkapi dengan petunjuk teknis yang jelas. Pengajuan bakal calon perempuan pada kebanyakan partai diletakkan pada nomor urut besar. Hanya sedikit partai politik yang berani meletak perempuan pada nomor urut 1 (satu). Ini membuktikan kepada publik memang ada sinyalemen bahwa perempuan, hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari dukungan atau “vote getter” bukan untuk dijadikan sebagai calon anggota legislatif dalam arti yang sesungguhnya.
Memang, dengan sistem proposional terbuka yang diterapkan, memberikan peluang yang sama pada semua calon legislatif untuk meraih kursi di lembaga legislatif. Logikanya, nomor urut tidak memberikan pengaruh dalam penentuan untuk menjadi anggota legislatif. Namun, disisi lain pemberlakuan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) menghalangi sistem proposional terbuka tersebut. Dari data pemilu tahunh 2004 di Provinsi Sumatera Barat calon yang mencapai BPP dapat dihitung dengan jari. Ini artinya, bahwa perolehan suara yang tidak mencapai BPP tersebut akan menjadi milik caleg urut teratas. Begitulah selanjutnya.
Menghadapi Pemilu 2009, selain dilandasi Undang-undang No. 10 tahun 2008, KPU juga menerbitkan petunjuk teknis yaitu Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Umum Tahun 2009.
Dalam pasal 10 Peraturan KPU 18 tahun 2008 yang mengharuskan memuat paling sedikit 30 % (tiga puluh per seratus) kerterwakilan perempuan, dengan ketentuan apabila hasil perhitungan terdapat bilangan pecahan ½ (setengah) atau lebih dibulatkan ke atas dan apabila kurang dari ½ (setengah) dihapus.
Selanjutnya dalam pasal 12 ayat (2) disebutkan bahwa di dalam daftar bakal calon yang diajukan dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang bakal calon perempuan.
Dalam prakteknya, partai-partai yang tidak mencalonkan perempuan 30 % sebagaimana diatur oleh pasal 12 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 18 tahun 2008 berkasnya akan dikembalikan untuk diperbaiki atau membuat pernyataan dengan disertai alasan kenapa tidak mencalonkan caleg perempuan sebagaimana diatur pasal 12 ayat (2) tersebut di atas. Ini artinya partai politik masih mempunyai peluang untuk mengabaikan ketentuan pemenuhan pengajuan caleg perempuan. Kenyataan lain adalah belun ditemukan pwerempuan yang diajukan di nomor urut satu, sebagian besar ditempatkan pada nomor urut 3. Hitung sendiri peluang yang bakal diraih caleg perempuan.
Untuk itu perlu upaya perbaikan ke depan, baik dari sisi peraturan perundang-undangan maupun dari kualitas Sumber Daya Manusia calon perempuan itu sendiri. Perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa kemajuan yang hakiki diraih melalui upaya yang sungguh-sungguh, bukan melalui pemberian seperti “kuota”. Upaya yang sungguh-sungguh kaum perempuan akan bisa memajukan dirinya sehingga mampu bersaing dan memperoleh pengakuan yang sesungguhnya.
Pemberian ruang peran perempuan dalam bidang politik sudah dimulai dari hulu; mulai dari dari undang-undang pembentukan partai politik. Dalam tujuan pendirian parpol ditegaskan agar mempertimbangkan keterwakilan perempuan terutana rekruitmen politik dalam proses pengisi jabatan politik, melalui mekanisme demokrasi degan memperhatikan kesetaraan dan gender (Pasal 11 UU Parpol)
Dalam undang-undang penyelenggara pun juga ditetapkan keharusan mengakomodir keterwakilan perempuan ini, seperti yang dituangkan dalam Undang-undang No. 22 tahun 2007, tetantg rekruitmen anggota penyelenggara, antara lain, pengisian anggota KPU yang berjumlah 7 orang di KPU, masing-masing lima orang di KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota, sampai dalam pengisian personalia PPK dan PPS yang juga dipesani agar ada unsur perempuan, sekurangnya 30%. (Pasal 22 UU No. 22 thn 2007).
Bakal Calon Anggota DPRD Provinsi
Politisi perempuan yang dicalonkan menjadi anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat untuk pemilihan umum tahun 2009 sangat bervariasi jumlahnya, namun tidak seluruh parpol yang ambil bagian dalam pemilihan di Sumatera Barat, maksimal mengajukan caleg perempuan. Kendati pun masih perlu didalami, secara agregat, jumlah caleg perempuan yang diajukan 37 partai politik peserta Pemilu di Sumatera Barat, sudah memenuhi keterwakilan yang diharuskan.
Dari 875 bakal calon[3] yang diajukan 876 orang, tercatat 298 orang di antaranya perempuan (34,06 %) atau 4,06% lebih tinggi dari kewajiban yang diharuskan undang-undang Pemilu itu sendiri. Namun demikian angka itu secara substansial belum menggembirakan, karena masih ada parpol yang tidak sama sekali mengajukan caleg perempuan, seperti Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), partai Pelopor, Partai Banteng Nasional Kerakyatan Indonesia (PNBKI) dan Partai Merdeka.
Jangankan mengajukan caleg peremuan, untuk memenuhi dan mengisi lima daerah pemilihan saja kelihatannya sudah sulit, apalagi mencari caleg perempuan. Ini disebabkan, amanah undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Parpol, hanya memesankan “memperhatikan” terhadap keterwakilan perempuan dalam komposisi kepengurusan parpol di daerah. Beda dengan kepengurusan parpol di tingkat pusat yang mewajibkan 30% keterwakilan perempuan.
Peranan Lembaga Penyelenggara:
Yang pasti, tidak ada peranan istimewa dari lembaga penyelenggara untuk terpenuhinya keterwakilan perempuan itu sendiri, kecuali melakukan apa yang diamanahkan undang-undang. Kalau pun bisa disebut sebagai peran, bentuk dorongan itu adalah memberikan sosialisasi kepada pengurus parpol agar apa yang diamanahkan undang-undang politik tersebut terpenuhi tanpa harus mengorbankan politikus lelaki.
Cara advokasi KPU yang dilakukan secara berjenjang adalah, memberikan pemahaman mendalam kepada pengurus parpol, bahwa nuansa keikutsertaan perempuan dalam wadah organisasi apa pun, akan membawa pencerahan pemikiran. Paling tidak dalam posisi memenuhi tuntutan kebutuhan konstituen perempuan. Terhadap parpol yang tak memenuhi 30% keterwakilan perempuan dalam proses pengajuan calon anggota dewan tersebut, akan dihadapkan pada kondisi atau proses memberikan rasa malu dan bisa-bisa mempengaruhi peraihan suara, dengan cara mengumumkan bahwa parpol ybs telah melanggar Pasal 57 Undang-undang No. 10 tahun 2008.
KPU secara berjenjang akan mengumumkan parpol yang tak memenuhi standar undang-undang melalui media massa dan televisi selama 5 hari setelah penetapan Daftar Calon Sementara.
Hanya itu yang bisa dilakukan. Kritik kita terhadap semangat undang-undang ini adalah, belum tegasnya sanksi yang diberikan oleh undang-undang ini. Tak ada sanksi yang memiliki aspek dorong agar pemenuhan minimal 30% keterwakilan perempuan bisa dicapai. Diperkirakan latar belakangnya adalah, belum maksimalnya ketersediaan aktivis perempuan di berbagai jenjang kepengurusan parpol, sehingga sulit menemukan perempuan yang betul-betul memiliki kapasitas yang setara dengan politikus lelaki.
Persoalannya bukan tidak tersedianya aktivis perempuan dalam dunia politik ini, tapi belum terlewatinya proses dan tahapan rekrutmen kader politik bagi perempuan. Kenyataannya, belum banyak keterlibatan perempuan dalam setiap kepengurusan dan kaderisasi parpol. Ke depan, perempuan tak punya pilihan lain, kecuali harus mau dan mampu bersaing dalam proses kaderisasi parpol.
Daftar Sumber;
1. Undang-undang No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
2. Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik
3. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota
4. Peraturan KPU No. 12 tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Penelitian, Verifikasi dan Penetapan Parpol Menjadi Peserta Pemilu 2009
5. Peraturan KPU No. 13 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Penelitian, Verifikasi Penetapan dan Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota.
6. Fitiyanti, 2005, Wartawan Perempuan Pertama Indonesia; Rohana Kuddus, Jakarta; d’NANTI,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar