Kamis, 26 Januari 2012

Undang-undang Pemilu Nomor 10 tahun 2008 Versus Kepentingan Partai Politik[1]

Oleh H. M. Mufti Syarfie[2]

Pendahuluan

Pemerintah baru saja mengundangkan dua undang-undang politik pada tahun 2008 ini, yaitu Undang-undang No. 2 tentang partai Politik dan Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sebelumnya juga lahir undang-undang No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Memang banyak yang mempersoalkan. Kenapa kita (DPR dan politisi-pen), sering gonta ganti aturan main dalam bidang politik. Belum lagi tersosialisasikan secara baik undang-undang politik sebelumnya, kini muncul lagi undang-undang baru, bahkan terkesan waktu proses pembahasan dan penyempurnaan undang-undang politik tersebut sangat minim. Namun demikian, jika kita mencoba memahami landasan filosofis penyempurnaan undang-undang tersebut, kita akan mudah memahami perubahan tersebut.

Landasan filosofis penyempurnaan undang-undang politik termasuk undang-undang partai politik, antara lain untuk melanjutkan pembangunan politik yang demokratis, sekaligus mengelola proses politik yang demokratis dalam kerangka penegakan hukum yang semakin membaik. Sekalipun tradisi penegakan hukum kita masih kurang bagus dibanding negara tetangga, upaya perbaikan hukum melalui pengembangan politik yang demokratis terus bergulir. Sasarannya antara lain pelaksanaan demokrasi dan penegakan hukum sebagai wahana penjamin kesejahteraan dan pelayanan.

Penyempurnaan undang-undang politik ini juga dimaksudkan mewujudkan sistem multipartai yang sederhana dalam rangka memperkuat efektivitas pemerintahan presidensial, disusul peningkatan efektivitas lembaga-lembaga perwakilan rakyat; MPR, DPR dan DPD sesuai fungsinya yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945. Perbaikan undang-undang ini juga diharapkan akan berimbas pada upaya peningkatan efektivitas parpol sebagai instrumen demokrasi di tanah air.

Bagi KPU sendiri, jelas akan mendorong peningkatan efektivitas penyelenggara Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Secara umum, prinsip penyempurnaan undang-undang politik; undang-undang penyelenggara pemilu dan undang-undang penyelenggaraan termasuk undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang parpol, antara lain hasil kompilasi aspirasi masyarakat dan realitas kondisi politik yang dihadapi pasca pemilu 2004 lalu. Setelah evaluasi dilakukan berbagai kalangan, terutama oleh KPU sendiri, undang-undang politik sebelumnya diakui mengandung banyak kelemahan. Paling tidak rekomendasi hasil evaluasi tersebut menyatakan perlunya singkronisasi antar pasal-pasal terkait antar undang-undang partai politik, pemilu, pilpres dan wapres, undang-undang penyelenggara pemilu dengan undang-undang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPD, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Secara garis besar undang-undang politik Indonesia, terkategori pada tiga bagian (saat ini-pen), yaitu undnag-undang penyelenggara, undang-undang peserta dan undang-undang penyelenggaraan pemilihan umum.

Hubungan Sistem Politik dengan Sistem Pemerintahan

Dari realitas politik tersebut, sebetulnya tak begitu sulit melihat implikasi hubungan antara sistem politik dan sistem pemerintahan. Sistem politik yang tak memadai, dipastikan akan membuat sistem pemerintahan tidak maksimal.

Bermula dari keberanian anak bangsa melakukan amandemen Undang-undang dasar 1945 (sampai 4 kali) di awal era reformasi. Hasil amandemen tersebut mengharuskan lahirnya paket undang-undang bidang politik, termasuk perangkat legalitas Pemilu 2004.[3] dan sederetan undang-undang lainnya, seperti Undang-undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Sementara undang-undang politik (UU No. 12 tahun 2002, UU 31 tahun 2003, UU No. 22 dan 23 tahun 2003) menjadi acuan pelaksanaan Pemilu 2004, sekaligus mempengaruhi kinerja pemilu itu sendiri. Pemilu 2004 memang dinilai banyak pihak sebagai pesta demokrasi spektakuler, namun produknya seperti kinerja pemerintahan dan kinerja lembaga perwakilan tidak maksimal.

Di sisi lain, kelemahan undang-undang politik tersebut juga membuat sistem pemerintahan presidensial tidak maksimal. Hal ini terlihat dari realita pasca pemilu, antara lain dengan memunculkan koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan bergabung mendukung presiden terpilih. Dan pemenang pemilu tidak memegang pemerintahan (kecuali melalui koalisi). Walaupun dalam sistem politik kita tak dikenal faksi oposan di lembaga perwakilan, tetap saja pemerintah menemui ganjalan dalam setiap melahirkan kebijakan pemerintah.

Sejak April 2005, KPU secara berjenjang melakukan evaluasi semua aspek penyelengaraan pemilu dan undang-undang yang menjadi acuannya. Hal ini dilakukan, karena menyadari ketidak maksimalan kinerja pemilu tersebut.

Undang-undang Penyelenggaran Pemilu dan implikasinya

Undang-undang No. 10 tahun 2008, merupakan Undang-undang yang mengatur “cara main” perebutan kekuasaan untuk menjalankan mekanisme demokrasi itu sendiri. Artinya parpol secepatnya harus segera mereposisi diri untuk bisa ambil bagian dalam pesta demokrasi tersebut.

Di antara repososi diri tersebut adalah mengimplementasikan seluruh kewajiban yang terkandung dalam aturan keberadaan parpol yaitu undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang parpol politik. Jika dalam undang-undang 31 tahun 2003 tidak begitu diatur tentang konstitusi parpol, tapi dalam undang terakhir, AD dan ART sudah harus menjadi konstitusi parpol. Apapun bentuk kewenangan dan kewajiban berbagai pihak, baik antara sesama pengurus, maupun pengurus dengan anggota dan masyarakat sudah diatur sedemikian rupa. Hubungan inilah yang kemudian menjadi keharusan bagi parpol untuk menyesuaikan diri dengan prilaku baru.

Pengurus parpol tidak bisa sesenaknya lagi terhadap anggotanya, apalagi main pecat, karena penyelesaian sengketa internal parpol, jika tak bisa diselesaikan secara internal berdasarkan AD dan ART tersebut, akan diambil alih oleh pengadilan, bahkan bisa berbuah pada pembubaran. Dampaknya pengurus yang kalah, tidak dibenarkan lagi membentuk partai sempalan.

Dari sekurangnya sepuluh perubahan mendasar antara undang-undang No. 10 tahun 2008 dengan undang-undang No. 12 tahun 2003 tetang penyelenggaraan pemilu tahun 2004 lalu. Tiga perubahan di antaranya menyangkut kepentingan parpol, antara lain;

a. diterapkannya ambang batas masuk DPR, dengan penerapan Parliamentary Treshold. Parpol yang perolehan suaranya tidak mencapai 2,5% dari total suara sah untuk pemilihan anggota DPR, tidak akan dilibatkan pada perebutan kursi DPR. Suara yang diraih tidak menjadi bagian penentu nilai kursi. Dalam posisi ini, parpol diharuskan berjuang keras menggerakkan mesin politik masing-masing untuk mendapatkan suara lebih dari ambang batas tersebut. Di sisi lain, kondisi ini bisa membuat suatu parpol tak berpucuk di DPR RI walaupun berakar di DPR (Daerah). Ini taruhan terbesar buat parpol bersangkutan untuk menghadapi pemilu berikutnya. Biasanya kondisi ini dijadikan daya tawar bagi pengurus partai daerah kepada DPP masing-masing untuk mendapatkan dukungan fasilitas penggerak mesin politik di daerah.

b. Parpol diwajibkan mengakomodir keterwakilan perempuan dalam pengajuan calon anggota di setiap jenjang legislative, sekurangnya 30 persen calegnya adalah perempuan. Untuk mencari kader perempuan yang mampu menjadi idola pemilih, bukanlah hal yang mudah. Contohnya Sumbar untuk memenuhi kebutuhan penyetaraan gender pada lima atau enam daerah pemilihan di daerah Sumbar, setiap parpol memerlukan kader perempuan sebanyak 22 orang untuk calegper DPRD Sumbar. Jika Parpol peserta Pemilu 2009, mencapai 40 partai, artinya diperlukan 880 orang. Konsekwensi lain adalah, banyak parpol yang tidak akan mengajukan calegnya di sejumlah daerah pemilihan yang dinilai tak memiliki potensial suara, atau hanya menempat tidak sepenuh jatah kursi yang diperebutkan karena tak mampu mengajukan caleg perempuan satu orang di setiap tiga caleg per-daerah pemilihan, seperti yang diperintahkan pasal 55 ayat (2) Undang-undang No. 10 tahun 2008 “Dalam setiap tiga orang bakal calon anggota legislatif, terdapat sedikitnya satu orang perempuan”. Kondisi ini akan diumumkan oleh KPU secara berjenjang di mass media, apakah satu parpol memenuhi tuntutan undang-undang atau tidak sama sekali. Dampaknya akan terlhat nantinya pada citra parpol tersebut, terutama di kalangan pemilih perempuan.

c. Penerapan sistem pemilihan proporsional terbuka yang disempurnakan, untuk memilih anggota legislatif ini, (Pasal 5-UU No. 10 thn 2008), pada pemilu 2009 nanti, mengharuskan setiap pengurus parpol baik secara personal, mapun fungsional bekerja keras untuk menggaet suara terbanyak, karena penetapan calon terpilih tidak lagi hanya ditentukan dengan nomor urut dengan BPP maksimal, tapi cukup dengan menembuskan angka peraihan suara sah 30% dari BPP di setiap Dapil provinsi dan kabupaen / kota. Dengan demikian setiap calaeg yang menembuskan batas 30% peraihan suara dari nilai kursi per dapil, bisa langsung mendapatkan kursi, namun jika jumlah penembus batas minimal ini lebih banyak dari jumlah peraihan kursi parpol, baru kembali ditentukan berdasarkan nomor urut di antara penembus batas minimal tadi.

Kesimpulan;

1. Undang-undang No. 10 tahun 2008, tanpa mengabaikan kelemahananya, ternyata lebih member ruang kepada pemilih untuk memaksimalkan target pilihan, ketimbang kekuasaan pengurus parpol, seperti sebelumnya.

2. Para caleg yang diajukan parpol harus lebih berkualitas, apalagi caleg untuk lembaga legislatif, harus betul-betul mengakar di daerah, sementara caleg untuk DPR RI akan terbantu oleh buah kerja keras caleg di daerah, karena, penentuan peraihan kursi baru bisa dilakukan setelah menembus lebih dulu ambang batas parlemen atau angka 2,5% suara sah secara nasional.

3. Peluang bagi kaum perempuan untuk menempatkan kadernya di lembaga legislatif ini akan lebih besar, namun tetap akan menimbulkan kesulitan bagi parpol yang minim kader perempuannya dan berdampak tidak terisinya seluruh Dapil yang menawarkan kursi legislatif.

4. Parpol tak punya pilihan kecuali harus memaksimalkan masa panjang kampanye (hampir 9 bulan), selain kampanye rapat umum, untuk membarengkan dengan program pendidikan politik, seperti yang diamanahkan undang-undang No. 2 tentang Parpol.

Catatan:

Dihimpun dari berbagai catatan serta analisis dan undang-undang politik



[1] Disampaikan pada workshop sehari Sosialisasi Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu yang diselenggarakan Perhimpunan Jurnalis Indonesia cabang Sumatera Barat di Pengeran Beach Hotel, Sabtu 14 Juni 2008. Dan sebagian narasi makalah ini juga disampaikan dalam acara sosialisasi undang-undang politik di Pariaman Sumatera Barat Mei 2008.

[2] Angota dan Kordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU Sumatera Barat dan Dewan Penasehat PWI Cabang Sumbar

[3] Undang-undang No. 12 tahun 2002, Undang-undang No. 31 tahun 2003 tentang Parpol, Undang-undang No.

22 tentang Susduk dll,)

Tidak ada komentar: